Monday, February 18, 2013

in valentine day, 14 /2/2012

Kemarin pagi saya mendapat sms yang mengatakan bahwa seorang tetangga telah meninggal dunia. Tentu saja saya kaget, meski sudah pindah dari komplek beberapa bulan yang lalu tapi kami telah bertangga selama lebih dari 10 tahun. Saya kenal baik dengan, dan selalu tampak sangat sehat. Kabarnya meninggal karena jatuh dari lantai 2 ketika menjemur handuk.

Pagi itu setelah mengantar anak sekolah saya bermaksud melayat dengan seorang teman, tapi sebelum niat itu kesampaian, ternyata ada kabar bahwa beliau belum meninggal tapi masih dalam keadaan koma di rumah sakit. Akhirnya jam 10 saya melayat ke rumah sakit. Masih di ICU. Menurut keterangan keluarganya, sesuai dengan apa kata dokter, sebenarnya sudah di nyatakan meninggal, tapi dengan sebuah alat, mungkin alat pacu jantung? Jantungnya masih bisa berdetak.
Saya sentuh kakinya, dingin sekali, tetapi tangannya masih terasa hangat. Dadanya masih terlihat gerakan turun naiknya, apa mungkin itu karena bantuan alat yang terpasang ? Akan di lepas ketika keluarganya dari surabaya sudah datang dan memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi nya.

Selesai sholat maghrib, ada pengumuman di mesjid yang menyatakan bahwa beliau telah meninggal. Maka janjianlah lagi saya dengan teman untuk melayat keesokan paginya. Hari itu teman saya yang janjian pergi melayat bersama pun telah minta ijin untuk datang terlambat ke sekolah untuk mengajar.
Ketika motor baru keluar dari rumah, saya berpapasan dengan tetangga yang lain, yang saya ajak sekalian melayat bersama.

“Eh..ngapain, orang belum meninggal kok ,” katanya

Setelah bengong sebentar spontan saya tertawa….. dan mengabarkan pada teman saya bahwa hari ini ngga jadi lagi melayatnya, meninggalnya ngga jadi lagi. Bukannya tidak sedih..tapi spontanitas saja… tertawa.

Dan jam 10 pagi, ada sms lagi, kali ini benar-benar di nyatakan meninggal. Dan jenazah sudah ada di rumah.

Almarhum adalah seorang ibu yang baik, baru berusia 40 tahun. Sangat telaten pada anak-anaknya. Beliau menikah ketika usia nya masih sangat muda, dengan seorang duda cerai, dengan 6 orang anak laki-laki yang masih kecil. Tidak ada satupun yang ikut dengan ibunya, semua di boyong oleh bapaknya dan menjadi tanggung jawab sang ibu muda. Beliau sendiri di karuniai 3 orang anak laki-laki dan paling kecil anak perempuan 2 tahun. Anak yang hadir dengan kejutan. Pasalnya sang ibu hamil ketika sudah ikutan program steril dari desa. Program Steril missal. Maka ketika terlihat perutnya membesar 4 bulan baru di sadari ada janin di dalamnya. Anugrah sang Ilahi.
Cerita di balik tidak simpang siurnya berita meninggalnya ternyata karena anak pertamanya semalam belum ikhlas untuk melepas alat bantu yang terpasang di badan ibunya. Sementara pengurus mesjid sudah menyiapkan segala sesuatu untuk jenazah. Cinta seorang anak yang tidak siap di tinggal tiba-tiba, dan teman saya ini setelah koma sehari (sejak sabtu pagi), hari minggu tersadar beberapa detik hanya untuk mengucapkan, “Ulfa sudah makan belum” Ulfa anak bungsunya yang masih berusia 2 tahun. Sisa-sisa kekutan terkahir dari ingatan seorang ibu hanyalah

“Mengkhawatirkan anak-anaknya”

Teringat ketika kecelakaan motor 3 tahun yang lalu. Akibat setang motor di senggol pengendara lain saya terguling di aspal. Pecahan kaca helm menyobek dahu dan lutut saya terluka terseret di aspal. Masih untung saat itu saya berada di belakang sebuah truk, jika berada di depannya mungkin saat itu saya sudah terlindas. Tidak ada rasa sakit yang saya rasakan, hanya rasa perih di dagu dan lutut. Saat itu saya bermaksud menjemput anak saya pulang sekolah. Dalam pikiran saya saat itu bahwa anak saya pasti menunggu. Setelah di tolong oleh seorang pengendara lain dan di bawa ke pinggir jalan, di beri betadin oleh seorang pemilik warung nasi di sana, saya pun langsung bergegas pergi.

“Bu minta ganti rugi bu” kata seseorang di kios helm, sementara si mas mas yang menyenggol berdiri dengan tampang khawatir di samping saya.

“Maaf ya bu..maaf” katanya

Jujur saat itu saya kok sama sekali tidak terpikir untuk minta ganti rugi atau menahan ktpnya ataupun marah-marah… di otak saya hanya ada pikiran bahwa anak saya sudah menunggu di sekolah.

Dengan plester seadanya di dagu, saya pergi melanjutkan perjalanan. Menjemput dan langsung ke puskesmas pusat yang kebetulan saat itu belum tutup. Saat saya berbaring baru saya sadar bahwa anak saya sedang menangis ketakutan. Melihat di dagu saya masih ada darah segar.
“Ibu jangan mati !”.. saya tersenyum sekaligus tersentak saat itu. Seandainya saya mati hari itu, entah bagaimana nasib anak-anak. Keesokan harinya anak saya deman, dan tidak masuk 2 hari.

Ketika beberapa tahun lalu, ada sebuah tausiah di tv dengan topic kematian, anak-anak saya bertanya dengan polosnya

“Ibu siap meninggal ?”

“Kenapa ngga. Tapi memang kalian siap di tinggal ibu”

Mereka menangis dan memeluk saya…

HUUUFFFF !!!! melihat ulfa yang tertidur dalam gendongan tantenya, Ibrahim yang masih berusia 4 tahun di gendong oleh teman saya, Burhan anak ke tiga, dan Mahmud anak pertamanya menatap dengan pandangan kosong pada jenazah ibunya ketika di kafani. Kami semua para ibu tak sanggup menahan air mata yang menitik
satu demi satu……

ya ALLAH ijinkan saya memiliki waktu untuk menyiapkan mereka menjadi manusia-manusia terbaik seperti yang ENGKAU harapkan

No comments:

Post a Comment