Sunday, November 13, 2011

Sekelumit kisah cinta sang Pujangga, Chairil Anwar

Bahwa Cinta adalah anugrah memang benar,  misteri rasa dari sang Khalik.  Bahwa cinta itu tak pernah lapuk, tak pernah hilang dan tak pernah mati meski ada cinta lain menyapa...... jika cinta itu bersambut pada sosok pujaan hati.
Saya mencoba menulis kembali  sebuah kisah cinta yang mengharukan dari kisah cintanya sang pujangga..CHAIRIL ANWAR.

 SAJAK PUTIHbuat tunanganku Mirat

besandar pada tari warna pelangi
kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senja

sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
meriak muka air kolam jiwa
dan dalam dadaku memerdu lagu
menarik menari seluruh aku

hidup dari hidupku, pintu terbuka
selama matamu menengadah
selama kau darah mengalir dari luka
antara kita mati datang tidak membelah

Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
kucuplah aku terus, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku.....

                Adalah gadis itu bernama Sumirat.   Perkenalan mereka di awali ketika Mirat dan keluarganya sedang piknik ke Pantai Cilincing, tempat rekreasi saat itu. Di daerah jakarta utara. Saat itu tahun 1943. Sumirat kala itu berusia 20 tahun dan chairil 21 tahun. Ketika itu Cril ( di pangil sril) sedang duduk bersandar di sebuah batang pohon membaca sebuah buku tebal.  Chairil sama sekali tidak peduli pada sekitar. Benar-benar tidak peduli, dia hanya konsentasi penuh pada apa yang dibacanya...dan itulah yang  membuat  seorang Sumirat tertarik pada pemuda itu. Membuat gadis itu penasaran. Diantara orang-orang yang lalu lalang dan bersenang-senang pemuda itu tampak tenang dan sama sekali merasa tidak terganggu. “Siapakah dia”. Sepanjang perjalanan pulang pikiran Mirat tak lepas dari sosok pemuda cuek itu.

Mirat adalah seorang perempuan yang belajar melukis pada S.Sudjono maupun Affandi. Saat dia melukis benaknya selalu terganggu pada bayangan sosok pemuda misterius itu. Tanpa di sangka-sangka beberapa minggu setelah kejadian di Cilincing itu seorang kerabat Mirat berkata “ masih ingat orang yang kita jumpai di Cilincing itu, yang kau anggap orang aneh itu?” “ya kenapa?”. Mirat mengaku mendengar berita itu jantungnya berdegup keras dan perasaannya bergelora. “ Dia kena perkara, dituduh mencuri. Tadi pagi ,sidang memutuskan hukuman denda. Dia tidak berduit dan harus menjalankan hukuman. Aku teringat kau, jadi ku tebus saja. Besok sore di mau singgah kemari”. Malam itu di lalui Sumirat dengan gelisah, tak terbayangkan bahwa lelaki eksentrik yang membuatnya penasaran itu akan datang kerumahnya.

Nama pemuda itu :  CHAIRIL ANWAR, Pekerjaan : Penyair, Penghasilan : tidak tentu. Tapi daftar riwayat hidup pemuda itu tidak berhasil menggoyahkan rasa cintanya yang muncul dari pandangan pertama itu. Ketertarikannya pada pemuda itu begitu kuat. Maka kedua insan itupun sering jalan bareng. Nonton, makan dengan catatan...Cril hanya membayar sekali-sekali saja. Mirat tahu bahwa dia tak berduit dan pakaiannya pun hanya 2 stel seingatnya. Tapi sang Pujangga itu tak pernah tampak lusuh, bajunya selalu tampak licin,selalu bersih. Dia jarang mandi tapi keringatnya tidak bau...begitu ingatannya Sumirat pada seorang Chairil Anwar. Sumirat dan Chairil Anwar bagai sepasang kekasih yang saling mengisi. Mereka terikat pada situasi yang klop dan bersahabat. Ketika Sumirat melukis dia selalu di temani oleh puisi-puisi karya sang kekasih. Mereka bergaul dengan kertas-kertas dan kanvas. Sumirat berpendapat bahwa “sungguh ideal kehidupan kami, sungguh menyenangkan”. Ideal bagi Mirat tapi tidak bagi orang tuanya. Suatu ketika ia di panggil pulang oleh orang tuanya  ke Paron. Sebuah Dusun kecil di kota Madiun, jawa timur. Chairil berjanji akan menyusulnya...dan memang di tepatinya. Menurut Mirat..saat itu Chairil di terima dengan pandangan sinis oleh adik adiknya. Seorang pemuda dengan pekerjaan dan penghasilan yang tidak menjanjikan masa depan datang ingin melamar.  Surat-surat Chairil Anwar pada HB Yassin pada bulan maret 1944, sebagian berasal dari :d/a yth R.M Djojosepoetro,Paron. Mungkinkah ini ayahanda Sumirat ??. Chairil muda tak pernah meyerah..”Orang selalu salah sangka, tapi mereka akan menyesal di hari kemudian karena aku akan sanggup membuktikan bahwa karya-karya ku ini bermutu dan berharga tinggi. Jangan putus asa Mirat aku akan terus berjuang untuk memberi bukti”.  Meski dari sajaknya pada tahun 1946 ada keraguan terbaca disana

Kamar ini jadi sarang penghabisan
Di malam yang hilang batas
Aku dan engkau hanya menjengkau rakit hitam
‘Kan terdamparkah
atau terserah
Pada putaran hitam?

Matamu ungu membatu

Masih berdekapkah kami atau
Mengikut juga bayangan itu

Chairil dan Mirat terlukis abadi dalam sajak-sajak Chairil. Tapi mereka tak pernah jadi menikah. “Anak cari kerja dulu yang baik dan tetap, nanti kita bicarakan lagi. “ ucap ayahanda Sumirat.Dia adalah idaman hatiku” hati Mirat tetap kukuh pada pilihannya.   Setelah kejadian itu,  Chairil pamit dengan uang saku dari ayah Sumirat karena memang Chairil tidak punya uang sepeserpun. Dia melamar Sumirat hanya dengan lembaran saja-sajaknya , keberanian dan keyakian yang kuat akan cintanya pada Sumirat. Chairil pergi dengan meninggalkan setumpuk berkas kertas yang menjadi kenangan mendalam bagi Sumirat. Tapi Ia masih beberapa kali lagi kembali ke sana menengok Sumirat, dimana keduanya berboncengan sepeda melihat-lihat sawah keliling desa, sambil bercerita tentang warna-warni lukisan Sumirat dan diskusi tentang karya-karya sang pujangga, bercerita tentang keadaan negri yang saat itu sedang dalam penindasan Jepang. Kisah cinta bagai sepasang sahabat, yang saling mengisi.  Namun setelah itu mereka tidak pernah bertemu lagi. Mereka hanya berkirim surat,  kemungkinan karena gejolak pemberontakan saat itu pada penindasan Jepang dan mungkin juga karena Chairil kantongnya selalu kempes. “Sajak-sajak yang dikirim nya banyak tertuju pada kepadaku” begitu Sumirat bertutur.  Sumirat akhirnya hanya mendengar kabar tentang pernikahan Chairil Anwar, punya anak dan ...kemudian meniggal dalam usia muda.

Sayang perang kemerdekaan yang merambah desa Paron membakar kopor berisi buku-buku dan berkas-berkas tulisan Chairil yang disimpan Mirat. Kenangan dari pujaan hatinya yang tersisa hanyalah sedikit catatan memori dan sajak yang berhasil diselamatkan, sisanya habis bersama abu rumahnya yang habis terbakar.

 “Kini Cril tiada lagi, penyair yang sepanjang hidupnya ku kagumi dan kudambakan, sebagai seorang penyair besardari zamannya. Dia benar, Cril membuktikan dirinya orang besar, seperti yang selalu dikatakannya kepadaku.”

Chairil Anwar lahir tanggal 26 Juli 1922 di Medan, meninggal pada tanggal 28 April 1949 di Jakarta. Usia yang sangat muda 27 tahun.  menikah dengan istrinya Hapsah Wiriaredja 1946 dan mempunyai seorang putri bernama Evawani Alissa 1947. Hidupnya sangat singkat dan meninggal dalam  kemiskinan. Meski semenjak jenazahnya masih di  CBZ (kini Rumah sakit Cipto Mangunkusumo), ribuan orang datang menengoknya, seperti diceritakan oleh Asjari rahman Intisari september 1971. Hari meninggalnya diperingati sebagai hari Chairil Anwar.
 Chairil muda ini ternyata masih menyimpan kenangan, hasrat dan rasa cintanya yang masih besar pada sang kekasih.....  Ada sebuah puisi yang ditulisnya di tahun kematiannya 1949. Puisi ini di tulis mungkin saat dia rindu pada kekasih sebagai tanda perpisahan........yang  akan  sangat ....sangat panjang. Puisi yang di buat saat dia sudah memiliki anak dan istri.....Cinta sejati tidak pernah mati meski ada cinta lain menyapa.............

Mirat Muda,Chairil Muda-1949      

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya
Coba memisah matanya menantang
Yang satu tajam dan jujur yang sebelah

Ketawa diadukannya giginya pada
Mulut Chairil, dan bertanya :Adakah, adakah
Kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
Dan tunjukan dengan pasti dimana
Menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia rapatkan

Dianya pada Chairil makin sehati,
Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan chairil dengan deras
Menuntut tinggi tidak setapak berjarak dengan mati

No comments:

Post a Comment