Dalam 2 hari setelah tulisan aku mengenai bapak ada kejutan
dari sebuah komentar di grup SMP. Bukan komentarnya yang menarik perhatianku, tapi
dari nama yang memberi koment. Nama yang telah lama ku cari, sejak awal awal
saya mempunyai FB. LINDA KASEGER. Kami satu SMP tapi tidak kenal, menjadi
sahabat ketika takdir menyatukan kita sekelas di SMA. Sehari kemudian ada seorang teman yang menandai 2 buah foto pada bekas
teman kerjaku. Namanya pun adalah juga salah satu nama teman lama yang juga
masuk dalam list the MOST WANTED ku. Temen seperjuangan ketika masih bekerja.
Dian. Dian yang nama belakangnya kini sudah tercantum nama keluarga seorang
Bule. Dian price, “Dian Harga”. Sejak lama ku dengar kabar bahwa dia menikah
dengan seorang bule Ausi, tapi kami kehilangan kontak lamaaaa sekali. Terakhir kontak
kontakan seingatku, sekitar tahun 1998. Terakhir calling-callingan, saya ingat betul topik
pembicaraan kami waktu itu tentang “Curahatan hati”. Seperti cerita bersambung yang kudengarkan
selama beberapa hari. Cara dan nadanya bercerita begitu menyentuh, sehingga
dengan tekun aku mendengarkan, manggut-manggut serius tanda mengerti, meski pastinya dia tidak
melihat ekspresi ku sama sekali. Mendengarkan Dian bercerita dari awal sampai
akhir, dan dengan gaya yang sok bijak, ku berikan nasihat-nasihat lebayku padanya sambil berkata “ oya “ “ehemm”
“terus..terus” “ehmm oya”. Hingga suatu hari dia berkata,
“Sorry ya ndah, cerita gue kemarin-kemarin itu bohong “
Heeemmm jangan di tanya dongkolnya hati ini. Sepertinya
tidak akan terbayar sampai dia membelikanku tiket PP Ausi + Uang saku. Ga deng
Yan, aku orang yang baik hati dan pemaaf. Rajin menabung pula, hingga suatu
saat mungkin akan bisa berkunjung ke Ausie, tapi jangan di tunggu kapan ya.
TAPI SUWER dari hatiku yang paling dalam, CUCUR saat itu gue memang dongkol
abis. Heemm… tapi jangan pikir orang yang gampang di kadalin bukan berarti dia
bloon ya, tapi karena ikhlas itu sudah menjadi bagian dari imannya….
Dan satu nya lagi, yang bernama Linda Kaseger adalah teman dekatku ketika sma.
Kami berteman baik selama 2 tahun. Selama kelas 2 dan 3,
sekelas ketika penjurusan. Begitu kulihat namanya, langsung ku inbox… chat…
Sejak pertama ku punya account FB, namanyalah yang termasuk paling ku cari.
“Pa kabar Lin. Awakmu jek urip ta (Apa kabar Lin, masih
hidup to) ?”
“Sek urip kok ndah”
Karena waktu menjelang maghrib dan di sisa waktu yang ada
kami bertukar no HP.
“Endah !”
“Linda yo “
“Piye kabare ndah “
“Mbiyen Bodo saiki kere “
Ada suara terkikik di ujung sana, membuatku yakin bahwa dia adalah
temanku yang ku kenal 25 tahun yang lalu. Waktu yang terbentang sekian lama
seolah terlipat rapi tanpa tahu seberapa panjangnya ketika terbentang. Hanya
sisi kanan dan kiri yang telihat. Menempel tak berbatas. Tak ada yang berubah
dari suaranya. Semoga tak ada yang berubah dari semua yang baik dari nya. Mimpiku 2 kali tentang dia sekitar 3 tahun yang lalu, membuat ku khawatir.
Tampak terlihat begitu cantik dan hanya diam.
“Sekitar 3 tahun yang lalu, aku lagi susah ndah. Di PHK,
ngga nduwe gawean “
Alhamdulillah, tak pikir pertanda buruk, awakmu wes…. Kita
sekarang sudah sama-sama sudah tercantum di waiting list pemakaman ya. Sing
penting sekarang kita berdua kabarnya apik-apik wae.
Sebuah sms pada malam ketika masih saling bertukar kabar,
dia bertanya
“Piye sakit alergi mu”
Bodo dan selalu flu itulah yang mungkin di ingat oleh
sebagian besar teman-teman saya saat itu. Kere… sebuah kiasan pada seorang
teman dekat untuk mengatakan bahwa aku cuma orang biasa-biasa saja. tidak
berlebih.
Bodo, yeah, ku katakan itu bukan untuk merendahkan diri,
tapi aku merasa memang begitulah adanya ketika itu. Apalagi ketika kelas tiga
Sma, saat ketika parah-parahnya ketergantungku
pada obat alergi sebenarnya. Obat alergi
itu seperti narkoba, ketika kita tidak punya daya tahan tubuh yang baik maka
kita tidak akan bisa menjalani aktifitas dengan nyaman tanpa bantuan obat.
Meski tidak menyebabkan ketagihan namun konsumsi yang tidak terkontrol pasti
akan menjadikannya duri dalam daging. Racun.
Saya sendiri tidak terlalu tahu alergen apa yang harus ku hindari.
Apakah masalah cuaca, debu, makanan ataukah sesuatu? Yang jelas hampir separuh
dari usia yang saya punya, adalah untuk mencari tahu bagaimana cara mencegah
penyakit ini agar tidak kumat dan cara mengatasinya tanpa mengkomsumsi
obat-obatan. Pengalaman saya adalah
riset dengan saya sendiri sebagai kelinci percobaannya. Dengan mengkomsumsi 2 tablet ctm dan 2 tablet
napacin sudah terdengar mengerikan bagi orang lain tapi sangat membantu bagi
saya, namun sama efeknya jika pada ketergantunan obat. Dari mulai megkonsumsi
separo dosisnya , kemudian 1 , 2 karena di rasa tak ada efek kegunaannya maka otomatis
dosis akan mengikuti kebutuhan . Orang tua yang tinggal di lain kota dan tak
ada keinginan untuk pergi ke dokter karena memang saya pikir, penyakit ini
hanya penyakit ece2. Mungkin sama bagi para pecandu narkoba, tidak penting apa
pengaruh buruk dari obat-obatan itu, efek yang membuat nyaman lah yang di cari.
Tidak sesak napas dan bisa tidur enak.
Perjalanan ku bersama penyakit ini membuatku mengejar TUHAN.
Saya mencari pertanggung jawabanNYA akan ketidak adilan ini. Hampir setiap hari
flu, sesak napas, membuat wajah tidak segar dan kurus kering. Situasi yang
membuat rasa percaya diri nyaris tak ada. Pencarian makna hidup dengan keadaan
yang lemah semakin lama justru semakin mengantar saya pada NYA. Sehingga suatu
hari ada mimpi yang tak terlupakan. Ada
sebuah kata yang tak pernah akan lupa termakan usia. Mimpi di tengah-tengah keputus
asaan dan ikhtiar yang aku upayakan.
“La haula wala Quawata Ilabillah”. Berkali-kali kata itu
seolah melintas. Tiada daya dan upaya yang berhasil kecuali karena ALLAH yang
menginginkan itu terjadi. Sariawan di leher yang hampir berjumlah 40, 2 kali
timbul dengan di cauter tak menjadikannya hilang selamanya.
Meresapi makna Lahaula walla Quawata lah yang
menghapus semua penderitaan. Hilang, lenyap tanpa obat sedkitpun. Alternative
ataupun medis. Alergi ini sebenarnya
tidak ada obatnya. Jadi selain menghindar dari
allergen factor
mensyukuri, ikhlas pada
keadaan adalah daya tahan tubuh yang paling efektif. Daya tahan tubuh yang
paling manjur, tiada bandingannya. Obat dari penyakit apapun tidak akan ada
khasiatnya ketika daya tahan tubuh kita buruk. Dan Iklhas + selalu bersyukur
adalah salah satu factor penting dalam pertahanan tubuh. Aku jujur mengatakan
bodo, karena memang demikian keadaanya.
nilai
Nem saya Ipa benar-benar di bawah A, Alakadarnya.
“Biji ne sopo ki, siji “ kata Mamanya Linda saat memfoto
copy lembaran nilai Nem IPA ku, saat ku foto kopi hasil-hasil belajar selama 3
tahun untuk di legalisir. Linda punya toko sekaligus tempat foto copyan. Membuat orang lain mengerti sebab dan alasan-alasan kegagalan kita adalah hanya
membuat kita semakin tampak seperti seorang pecundang. Maka aku lebih suka menyendiri dan diam. Tak
ku katakan bahwa tak ada satupun pelajaran yang bisa masuk ke otak ketika kita
dalam keaadan teller. Yang ada dalam otakku dan ku katakan pada Linda, entah dia
ingat atau tidak.
“Aku jenuh sekolah, jenuh belajar “
“Ngombe o napacin 2 karo sprit ndah. Mantabs” itu sarannya…dengan
senyum yang sedikit khawatir
Ketika ujian PSPB (Pendidikan sejarah perjuangan bangsa)
yang hafalannya Masya Allah…banyaknya. Duduk di pinggir kelas tanpa tahu mana
yang harus di hafalkan.
“Ki, salembar awakmu, aku sak lembar (satu lembar kamu, satu
lembar aku) ” dia menyobek 2 lembar halaman dari buku diktat PSPB.
“Bar iki ra kanggo buku ne (selesai ini buku ini tidak
berguna) ” begitu katanya. Kenyataannya
sebelum dan setelahnya memang kurang berguna, karena tidak ada satupun
jawaban yang bisa di cari dari 2 lembar kertas yang dia sobek itu.
Tidak ada yang terlalu istimewa pada persahabatan kami.
Tidak ada curhat-cuhatan masalah kegalauan hati, masalah pacar, atau doi yang
di taksir, karena memang kami tidak ada yang punya pacar, gebetan yang membuat
kami galau. Bahkan kami pun tak punya foto bersama, kenapa ya? Kok ga kepikiran?
Karena kami memang tak punya Kodak dan tidak ..yah tapi kami tak merasa remaja
kuper. Biasa aja. Santai, kami punya style sendiri. Hemm. Santai.
selain aku dan Linda ada satu teman lagi yang selalu
bersama. Dian Nurheni, belum ku temukan jejaknya hingga saat ini. Kami mungkin
sahabat yang unik. Aku adalah muslim, Linda advent, keturunan chinese dan Dian
adalah katholik. Tapi ketika kuliah, dian sudah menjadi mualaf. Aku pun tak pernah menolak ketika Dian yang
beberapa kali pindah kost menitipkan Alkitabnya padaku.Ku simpan dengan
baik. Ketika kami berkumpul pun perbedaan
yang ada tidak pernah menjadi topik pembicaraan kami. Kami hanya orang-orang
yang mencoba menikmati hidup sederhana yang kami punya dengan cara yang ringan
pula.
Di saat istirahat kami duduk di pinggir kelas bercerita
tentang ini dan itu. Bercerita tentang kekoyolan-kekonyolan yang ada di
sekitar. Berbicara tentang guru-guru, gossip tentang siswa lain, pelajaran yang
membosankan, suasana yang tidak menarik, dan bikin bĂȘte ataupun bahkan yang
membuat kami sumringah. Becerita tentang pembantu baru ibu ku bernama Rikemlah
yang paling ku ingat. Rikem adalah namanya selagi masih di desa dan Parti ketika sudah di
Jakarta. Rikem berasal dari pelosok madiun, entah belahan desa yang mana, saya
lupa lagi. Ynag jelas jauuuuhhh di pelosok. Berpostur tinggi besar, berkulit
legam dan biasa kumpul kebo di kampungnya. Miris mengatakan hal ini, karena
ketika saya ikut mengantarnya pulang kampung, benar apa yang di katakannya, bahwa
dia tinggal bersama kebonya, bersama.
Hanya tersekat bilik tipis, antara rumah tempat tinggalnya bersama
keluarga dengan bilik kerbaunya. Sosoknya yang polos membawa beberapa kisah
ceria dalam kejenuhanku.
Bercerita tentang Rikem yang terpana ketika melihat adik ku
yang saat itu masih sma membersihkan wajahnya dengan pembersih viva. Milk dan
toniknya. Hingga suatu hari Rikem yang tidak bisa berbahasa Indonesia pergi ke
warung, berniat membeli kosmetik seperti yang di gunakan adik ku.
“Tumbassss !”
“Tumbassss !”
Pemilik warung yang orang betawi segera keluar.
“Mau beli apa mba ?” tanyanya meski dia sendiri tidak tahu
apa itu tumbas. (Tumbas = beli, bahasa jawa)
“Tumbas wedhak jemek ?” (beli bedak lembek)
Si pemilik warung bingung, tapi berlapang dada pada
pelanggan. Pelanggan itu raje jeh…, mengambilkan segera barang yang di tunjuk
oleh Rikem.
“Iku Io sing kuwi. Sing warnane abang ae,” (yang warnanya
nya merah saja). Pembersih wajah merk Viva yang berwarna putih sudah bisa
membuat kulit wajah adik saya mulus (waktu itu lo ), kalau yang warna merah
pasti lebih bagus, begitu mungkin pikiran rikem saat memilihnya. Padahal yang
berwarna merah itu kan hand body, lotion untuk pelembab tubuh bukan wajah!.
Alhasil beberapa hari kemudian, wajahnya mulai di tumbuhi jerawat, dan tampak terlihat
sangat lengket….
Pengaruh efek dari gaya hidup orang kota membuat Rikem mulai
mengikuti fashion. Sholat tarawih dari dulu sampai sekarang mungkin masih
mempunyai pengaruh yang kuat bagi sebagian remaja puber untuk menarik perhatian
lawan jenis,termasuk mba Rikem ini. Mushola yang terletak persis di sebelah
rumah, pada saat tarawih lumayan banyak jamaahnya yang datang dari dalam komplek
maupun lingkungan sekitar. Mushola meski kecil, adalah tempat di mana tidak terlihat perbedaan
status social. Tukang becak, tukang sayur, kepala bagian…sama-sama berkumpul
dan sholat di tempat yang sama.
Wajah yang sudah di olesi viva hand body warna merah, dan
bedak di lengkapi dengan lipstik warna merah cerah selain untuk bibir,juga di pakai sebagai perona pipi dan eye
shadow. Seandainya dia tak perlu berwudhu lagi tengah-tengah tarawih, mungkin
tidak terlalu menghebohkan. Tetapi ada panggilan alam yang membuat nya berwudhu
kembali harus terbasuh air membuat wajahnya tampak sangat merona. MERAH.
Luntur..riasan merah di wajahnya bersatu padu di seluruh bagian. Tidak di sadarinya tetapi
membuat para jamaah lain yang sadar perbedaan penampilannya “sebelum” dan
“sesudah” berwudhu itu, membuat mereka
tidak konsentrasi untuk khusuk dalam sholatnya.
Rikem sebenarnya masih kategori gadis remaja. Baru berusia
16 tahunan dan adik saya yang kurang lebih berusia sama, menjadi tolok ukurnya
untuk gaya orang kota.
Mulai dari fashionnya, style nya sebagai remaja kota di
ikutinya.
Pagar rumah kami di komplek,
tidak terlalu tinggi. Hanya sedikit lebih tinggi dari pinggang orang
dewasa. Gaya remaja memang selalu ingin serba praktis dan cepat membuat adik sayalebih memilih melompat pagar dari
pada membuka pintunya. Sayangnya, meski Rikem
yang juga masih remaja, tapi dengan posturnya yang tampak lebih keibuan dari
pada remaja, seringkali mengikuti polah adik saya ini.lebih suka melompat pagar
dari pada membuka pintu pagarnya. Dengan
tulisan ini setidaknya adik saya sadar bahwa dulu dia sudah punya fans fanatik.
Harus bersyukur.
“Saya tidak mau beli celana panjang bu,” katanya pada ibuku
saat mengantar Rikem membeli celana panjang untuk baju lebarannya di pasar.
“Kalau pulang dari
kota dan memakai celana panjang itu tanda bekerja sebagai perempuan “nakal” di kota” katanya lagi.
Oranye, merah cabai itu warna favoritenya. Tidak membeli
celana panjang tetapi membeli rok sepan. Badannya yang biasanya maskulin,
tampak feminism dengan baju yang memuat nya tambah ber”bobot” dan padat.
Sedkit mengenang lain kisah di lain jalur,ngomong-ngomong
soal pulang kampung aku ingat ada temen lelaki yang memang suka iseng di
kantor, berkomentar pada salah satu manager perempuan yang masih single saat
itu, yang setelah liburan lebaran masuk kantor dengan rambut baru ke kantor. Di
kriting.
“ Biasanya nih…kalau abis lebaran rambutnya di kriting, itu
pembantu rimah tangga”
Keesokan harinya rambut manager yang di maksud sudah lurus
lagi…hahahaha.
Semua kisah persahabatan kami tidak pernah terekam dalam
selembar foto pun. Tapi ingatan tentang kebersamaan itu masih terekam jelas
dalam ingatanku. Terkhir saat kelas 3, ku ingat betul, kelasku juara relly sepeda. Memakai kaos Polo dan topi
ala jepang. Juara kedua, hanya karena kurang seragam kostumnya. Lumayan, tapi
membuat kami tidak nyaman untuk berjalan setelah itu, karena kami tidak terbiasa memakai
sepeda balap, bukan sepeda jengki yang biasa kami gunakan untuk sekolah
sehari-hari.
Satu persatu kenangan lucu ketika sekolah membuat ku
bertambah kangen. Ingin sekali bertemu. Tapi reuni 2 tahun lalu mereka tidak
ada. Kangen saling mengingat masa lalu.
“Lek aku ngentut, melu tengok kanan kiri. Ben ra kethok lek
awakmu sing ngentut “ modus ngeles.com Itu kata Linda saat jenuh pada forum
diskusi pelajaran sejarah. Forum yang membuat aku ngga habis pikir ya, buat apa
kita berdebat atau berdiskusi tentang sejarah yang saat itu kita sama-sama
tidak tahu faktanya. Satu-satunya fakta yang ada, ya hanya yang tertulis di
buku. Dan itu adalah satu-satunya buku diktat pegangan para siswa. Sing di
debat opone..lah wong faktanya yang kita tahu sama.Tidak ada survey atau
makalah yang harus di uji. Duduk manis
di pinggir dengan terkantuk-kantuk menahan mules.
Mungkin ketika Sma kami sama sekali bukan murid yang tenar.
Dan tak penting itu buat kami. Selembar surat kaleng mengkritik ketegasan pak
Dirman kepala sekolah Sma kami layangkan. Iseng. Ketika banyak kasus colut dan
pelajaran Di JOK KE, di majukan membuat kami galau. Kedisiplinan saat di mp buyar. Kenangan betapa kami memilih
menjadi seorang pengecut daripada masuk forum OSIS untuk menyampaikan pendapat.
Yaaah..karena itu adalah tanda kami masih exist aja kali ya.
Meski tak merasa ada cowok yang naksir bukan berarti kami
hilang semangat. Kabar mengenai kakaknya Dian yang ganteng ,yang sedang liburan
kuliah membuat kami iseng main ke rumahnya. Di Geneng Ngawi. Pathok tanda masuk
di setiap batas desa di sana yang tampak sama membuat kami salah turun. Jika
hanya nama Dian yang ku tahu mungkin kami akan memutuskan untuk lebih baik
kembali lagi. Yang penting kami tahu siapa bapaknya. Mantan Lurah Geneng, meski
periode kapan kami tidak tahu pasti, hanya berharap bahwa bapak Sutrisno ini
termasuk lurah beken.
“Pak numpang tanya,
rumah bapak Sutrisno, bekas lurah geneng di mana ya?” Untung bapak petani itu
tahu, hanya sayangnya 1 kilometernya orang desa bisa jadi 5 kilometernya orang
kota. Setelah melintasi beberapa sawah kering dan kampung akhirnya ketemu juga.
Wwuiiihhh.
Segelas es degan membuat kami merasa fresh kembali. Tak ada
terlihat sosok ganteng yang kita incar lalu lalang mencari perhatian kami. Yang
ada hanya keponakan Dian sekitar kelas 3 atau 4 SD yang justru heboh mencari
perhatian kami. Gadis-gadis katrok dari kota. Jungkir balik salto….membuat kami
bengong dan terpana. Ngga tahu harus berkata apa. Sama anak kecil aja kita
speechless apa lagi sama yang “beneran”. Ngomong-ngomong gimana kabarnya anak itu ya
lin? Apa mungkin masih ada kemungkinan dia cari perhatian emak-emak seperti
kita ini jika ada waktu untuk bertemu kembali??? Waktu masih kecil tu anak,
wajahnya oke lo. Mungkin sekarang sudah jadi PILOT? Where are You Dian, I miss
you so much.
Ku tak punya cerita cinta, tak punya cerita yang luar biasa
untuk di ingat. Hanya beberapa cerita konyol yang tak cukup ku tulis dalam beberapa lembar
kertas.
Kini ketika tak ada teman baik untuk berbagi cerita, ketika kesedihan
dan kemarahan yang sudah tak terbendung, aku hanya berusaha menyingkir untuk tidak
berinteraksi dengan orang lain, dan besimpuh berlama-lama selesai sholat.
Memutar butiran tasbih bukan berarti saya ingin menjadi alim ulama. Merasakan
rasa Iklhas dan bersyukur apapun yang terjadi ternyata factor yang paling
penting dalam menjada daya tahan tubuh kita. Bahwa tidak ada yang mampu
menolong kita kecuali usaha kita sendiri untuk keluar dari masalah dan KUN FA
YA KUN NYA adalah jawaban dari semua pertanyaan.
Lin, tulisanmu opo jek elek?