Terima kasih pada teman-teman semua yang telah mengucapkan
dan memberi doa bagi almarhum bapak saya. Tulisan ini bukan untuk maksud
apa-apa. Saya hanya ingin berbagi kenangan tentang bapak….
Hari itu, Jumat tanggal 1 Maret jam 6 pagi, saya sedang ada
di bengkel tambal ban motor. Ketika di
keluarkan dari rumah ternyata ban motor saya bocor. Motor diantar ke bengkel
oleh suami, dan selanjutnya saya yang menunggu dan mengambil nya, untuk mengantar anak saya yang no 1 dan no 3
pergi ke sekolah.
“Bu tadi ada Telpon dari Bi Popong, katanya bapak sakitnya
parah (Saudara misan bapak yang di nikahi setelah ibu meniggal dunia) “ kata
anak saya ketika saya pulang dari bengkel. Hp saya memang saya tinggal di rumah
saat itu.
Langsung saya telpon untuk memastikannya. Nada Khawatir dan
tangisan menceritakan keadaan bapak dari suara ibu tiri di sebrang sana. Saya
langsung memutuskan untuk membeli tiket travel ke Jakarta. Beberapa menit
kemudian adik saya telpon yang mengatakan bapak sudah tidak ada. Tanpa pikir
panjang lagi, saya kembali ke sekolah,
menjemput anak-anak, satu persatu di 3 tempat yang berbeda. Jam 10 saya
berangkat, tepat azan saya sampai. Dan jenazah bapak sudah ada di mesjid. Tapi Alhamdulillah sebelum jenazah di turunkan
ke liang kubur, kami masih di beri kesempatan untuk melihatnya. Terlihat
bersih, segar, tidak tampak pucat seperti sedang terlelap tidur.
Bapak saya orang yang sangat bersahaja, sederhana dan uniq.
Kutu buku, tidak fashion, tidak trendi. Kumisnya hanya beberapa lembar, seperti
kumis tukul ketika muda. Tidak pernah mau ke Mall seumur hidupnya kecuali di
ajak ke toko buku atau makan. Tidak suka lawakan ala OVJ, Tukul, ataupun yang
sejenisnya. Berisik kata belaiu. Hanya film Mr. Bean yang membuatnya tertawa.
Punya prinsip yang sangat kuat dan sangat idealis. Pemikirannya yang kuno seringkali bentrok
dengan perkembangan jaman. Pendiam, tidak banyak bicara, lebih suka sendiri dan
asyik dengan mainannya. Ngoprek mobil tuanya, pergi ke lagit-langit rumah
seharian, membersihkan rayap atau membuat kerajinan ini dan itu. Sangat
kreatif. Meja belajar, lampu, gantungan baju dan banyak lagi perkakas yang
semua di buat sendiri oleh nya di waktu liburnya.
Saya ingat suatu hari ibu saya mengingatkan bapak untuk
sedikit mengembangkan senyum pada ibu-ibu yang berkumpul di sekeliling tukang
sayur, setiap paginya, yang selalu di lewati bapak ketika hendak berangkat ke
kantor.
“Bapak sudah tersenyum kok, tapi kok malah seperti cekikikan
sih” kata bapak waktu itu. Usut punya usut ternyata yang berkumpul adalah para
pembantu rumah tangga hari itu. Bukan ibu-ibu kolega ibuku ngerumpi. Yah, Bapak
tidak terlalu hafal wajah para tetangganya.
Meski tidak terlalu gaul dengan tetangga dan lingkungan tapi
silaturahmi dengan kerabat dan keluarga bagian dari keutamaannya. Ketika masih
muda lebih suka tidur di kursi di depan TV, dengan berselimut Koran dari pada
di kamar. Sampai di akhir hayatnya
berita-berita dari TVRI masih menjadi acara favoritnya.
Pensiun terakhir dari pegawai negri Ditjend pajak dengan pangkat
4D, setingkat lebih rendah dari jenjang tertinggi karir pegawai negri. Jabatan terakhir adalah kepala kantor
penyuluhan pajak di cibinong. Yang ketika ada pabrik yang di demo para buruhnya
karena Pph 21. Ketika ketentuan tentang
pemotongan pajak penghasilan di sosialisikan, bapak lah yang menjadi tameng
untuk berbicara di ramainya demo para buruh, sementara bos-bosnya bersembunyi
di belakang. Dan saat pensiun bapak hanya punya mobil hijet 1000 tahun 1982,
yang sampai saat ini masih terpakir di rumah saya. Meski tua mesinnya masih
mulus dan halus, masih saya rawat meski tidak saya pakai, karena masalah rem. Kaca samping kanan retak, dan saya tempel
dengan lakban karena ketika mundur sedikit menyenggol tembok pagar. Dan
karena mobil hijet di titipkan pada saya dia membeli lagi satu mobil Jimni tua yang jika di operasikan
sering loncat-loncat jalannya. Tapi semua adalah mobil kesayangan bapak, yang
selalu di rawat dengan penuh rasa sayang. Berbulan-bulan ketika saya minta di
ajari menyetir mobil beliau selalu menekankan saya bahwa sebelum mengoperasikan
mobil saya harus rajin me lap-mobil dulu, mengatahui cara mengganti ban dulu,
tahu mesin dulu, hingga sekarang saya hanya bisa menyetir maju mundur di
lapangan kosong saja.
Ketika Bapak pension kami sekeluarga sibuk keliling Jakarta
mencari rumah murah, karena bapak tidak punya rumah. Waktu itu Kami selalu
tinggal di komplek dinas yang sederhana. Tak ada keinginan bapak untuk meng-Hak
rumah dinas, seperti banyak tetangga di sana yang betah tinggal di sana hingga
ke anak cucu. Tapi Alhamdulillah selalu ada jalan bagi rejeki untuk masuk.
Mungkin karena keluguan, idealisme dan kejujurannya membuat
beliau termasuk orang yang di tidak sukai dan popular di kantor. Pola pikirnya yang lempeng seperti besi dan
kejujurannya membuatnya kadang mungkin tampak meyebalkan bagi sebagian
teman-temannya.
“ Ndah di kantor bapak ada penerimaan pegawai baru, mana
lamaran kamu, bapak bawa”
Lamaran yang ku pikir akan di titipkan pada seseorang yang
“besar” ternyata di cemplungkan bersama ribuan surat lamaran lainnya dari
seluruh Indonesia.
Idelisme dan prinsipnya yang kuat tentang pernyataannya
“TIDAK” nya kadang membuat kami gregetan, tapi jika ada kebenaran dalam “BENAR”
nya kami yakini, beliau selau welcome.
Buku-buku peninggalannya tentang banyak hal adalah salah satu yang
paling berharga dari beliau. Pola pikir, ketekunan, kejujuran dan idealisme nya
mendidik saya, adik dan kakak untuk mengerti untuk apa kita hidup sebenarnya.
Seminggu sebelum beliau meninggal, entah ada hubungannya
atau tidak, tiba-tiba saya malaaaaassss sekali membuka internet. Malas sekali
bercanda, malas beekatifitas kecuali mengerjakan kewajiban-kewajiban di rumah.
Ingin sendiri dan berlama-lama duduk selesai sholat.
Rumah bapak kini sepi, tidak ada lagi sms seorang kakek tua
yang menanyakan kabar cucu dan anak-anaknya. Saya yang tinggal di bandung tidak
punya banyak waktu kosong untuk sering-sering menjenguknya. Biasanya hari
minggu pagi saya datang ke jakarta, sore sudah pulang lagi ke bandung. Hanya
untuk menggaruk-garuk punggungnya, memijiat, sambil mengobrol tentang banyak
hal, mulai dari masakan hingga fenomena UFO. Kenangan menunggunya cuci darah
selama 4 jam hingga saya ketiduran dan mendengkur di rumah sakit, tidak akan
saya lupakan. Saya tidak merasa sedih, tapi ada rasa kehilangan, menyadari
bahwa rumah ini terasa tidak lagi sama. Sepi dan lengang. Bapak hanya pergi duluan ke tempat dimana
saya nanti juga akan menyusul kesana. Rumah yang sementara ini hanya di tempati
oleh Ibu tiri yang soleh, yang telah iklhas menghabiskan waktu menemani sisa
waktu bapak untuk merawatnya. Saudara perempuan bapak se-uyut, “Misan” bapak
yang suaminya telah meninggal, anak satu-satunya telah meninggal, mantunya
telah meninggal pula, dengan 1 cucu yatim piatu sejak usia 9 tahun. Perempuan
yang pernah membantu mengasuh kami, anak-anak bapak ketika kami masih kecil
dulu.
Bapak yang rela memberi kursus akuntansi gratis, tanpa
pusing dengan “nice say goodbye” tanpa kabar setelah mereka berhasil dan
sukses. Pendapatnya bahwa menilai kesenangan dan kenikmatan hidup, bukanlah
materi ukurannya, dan beribadah adalah harga mati baginya. Tidak ada
nasihat-nasihat yang di katakan denga gaya orang-orang bijak seperti yang di tayangkan di TV-TV.
Baginya hidup ini hanya ibadah, hanya contoh-contoh dari kehidupannya
sehari-hari lah nasihat yang dia berikan
buat kami.
Hanya keluarga dan kerabat yang dari dulu ku kenal baik yang
datang melayat. Ketaatannya beribadah,
yang tak putus shalat tahajud dan mengaji, terutama ketika rasa sakit mendera…
membuat jenazah di shalati penuh di masjid. Semoga amal ibadah bapak di terima
di sisiNYA.
No comments:
Post a Comment